Asiknya
baca buku
Saat sekolah dasar (SD) adalah masa awal kita
berbproses,mungkin dari sekian banyak moment saat berseragam putih merah alias
SD .yang paling melekat di fikiran ku sekarang kawan adalah kebisaan mengantri meminjam buku di
perpustakaan,pada saat pukul 08.30 saat guru tidak masuk kebiasaan kami dikelas
adalah memaksa guru untuk meminjam buku,saat SD kawan perpustakkan sekolah q
berada satu tempat dengan ruangan guru,tapi dulu meminjam buku itu susah oleh
karena mungkin kebiasaan kami yang setiap meminjam buku selalu berantakan,saat mengembalikan
buku tak di simpan lagi pada tempatnya.pinjam buku duduk diluar dengan kawan
saat hujan lagi waktu beh serunya membaca.walaupun saat itu buku yang di baca
adalah buku-buku tahun 80-an.
kisah buku-buku di atas tersebut sangat inspiratif dan banyak membangun watak dan sikap anak pada waktu.Menariknya,
hampir semua bacaan tersebut bertema penyuluhan. Jika bukan soal budi-daya
enceng gondok, beternak manila…ya.. propaganda keluarga berencana, mengapai
cita-cita, mengasah keterampilan perbengkelan, pentingnya sekolah atau semangat
membangun desa dan sebangsanyalah yang dikemas dalam cerita anak.
salah satu cerita nya adalah rajin membatik di mana disana kita di ajak membuat batik di ceritanya.beternak cacing tanah,kisah-kisahnya sangat menarik walaupun kemasan bukunya tak sebagus buku sekarang.
Masa kejayaan itu sudah berlalu. Kemana perginya bacaan-bacaan tersebut? Terhimpit di rak perpustakaan sekolah. Anak-anak sekarang lebih suka terobsesi menjadi ninja Konoha ketimbang belajar cara membatik dan mencari tau masalah yang ada di lingkunganya.
salah satu cerita nya adalah rajin membatik di mana disana kita di ajak membuat batik di ceritanya.beternak cacing tanah,kisah-kisahnya sangat menarik walaupun kemasan bukunya tak sebagus buku sekarang.
Masa kejayaan itu sudah berlalu. Kemana perginya bacaan-bacaan tersebut? Terhimpit di rak perpustakaan sekolah. Anak-anak sekarang lebih suka terobsesi menjadi ninja Konoha ketimbang belajar cara membatik dan mencari tau masalah yang ada di lingkunganya.
memotongnya
dari tengah saja.
Ketika didirikan pada Mei 1950, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) hanya terdiri dari beberapa beberapa anggota saja. Kemudian keanggotaannya bertambah hampir 450 pada tahun 1966, tapi mengecil lagi menjadi hanya sekitar 80 anggota saja pada tahun 1973. Itu mencerminkan pasang-surut kegiatan penerbitan buku di Indonesia.
Penyebabnya, banyak perusahaan penerbitan terpaksa gulung tikar, sebagian mengalihkan usaha ke bidang lain akibat Amukan inflasi, harga kertas mahal, jatah pemerintah ditiadakan. Keadaan ekonomi tersebut membuat beberapa penerbit lain-yang masih bertahan-enggan menerbitkan buku paket pelajaran..
Untuk meredam gejala tersebut, pemerintah membentuk proyek Paket Buku (1969) yang bertujuan menyediakan buku pelajaran bermutu untuk sekolah dan madrasah. Proyek itu kemudian dibantu oleh perjanjian kredit ($ 13,5 juta) dari Bank Dunia dan suplai kertas ($ 13 juta) dari Canadian International Development Agency (CIDA). Keduanya berlaku dari 1973 sampai 1980-81.
Dep P & K, bertindak sebagai penerbit mengambil alih penerbitan buku pelajaran untuk subsidi sekolah. Persoalan buku pelajaran terselasaikan. Proyek tersebut sekaligus membanting penerbit swasta dengan mengambil alih porsi penerbitan buku pelajaran.
Ikapi kemudian memprotes perihal perampasan jatah tersebut. Tapi ibarat makanan, jatah tersebut sudah terlanjur dikunyah…masa’ mau dimuntahkan lagi? Berhubung pemerintah di jaman itu masih baik hati , maka diusulkanlah proyek Inpres untuk memulihkan iklim penerbitan swasta.
Proyek Inpres dilaksanakan pada tahun 1974. Tujuannya adalah menyediakan buku bacaan sehat untuk Sekolah Dasar, dengan menyerahkan kepada pihak penerbit swasta untuk menerbitkan buku bacaan itu, dibawah pengawasan Dep. P & K.
Tidak diragukan lagi, proyek Inpres tersebut sukses merangsang minat baca anak-anak sekolah di jamannya. 40 juta buku dihasilkannya dengan biaya Rp 7,5 milyar. Sekaligus memicu tumbuhnya kegiatan penerbitan. Keanggotaan Ikapi melonjak dari 80 anggota menjadi 166 anggota. Di luar Ikapi, mungkin ada lebih banyak lagi penerbit kecil musiman yang ikut menikmati Proyek Inpres tersebut.
Pengarang-pengarang senior, seperti Suyadi, Alm. Kurnaen Wardiman, Djoko Lelono, Diah Ansori, Alm. Suyono, Dwianto Styawan, a. Adjib Hamzah serta pengarang-pengarang dadakan lainnya tak mau kalah bermunculan di sampul buku Inpres.
Tak cukup sampai di situ, seniman lukis lokal pun ikut kecipratan proyek. Apa menariknya bacaan anak tanpa gambar. Ilustrasi pada bacaan anak tidak hanya semata-mata berfungsi untuk melengkapi teks, namun justru menjadi satu kesatuan dengan cerita. Menurut Murti Bunanta, salah seorang pengamat dan praktisi bacaan anak, setidaknya terdapat tiga peran ilustrasi bagi anak. Pertama, ilustrasi harus mampu memberi ruang pada anak untuk berimajinasi. Kedua, ilustrasi harus mampu menimbulkan rangsangan bagi anak untuk mengenal estetika. Dan terakhir, ilustrasi harus mampu memberi kenikmatan bagi anak yang membaca.
Ketika didirikan pada Mei 1950, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) hanya terdiri dari beberapa beberapa anggota saja. Kemudian keanggotaannya bertambah hampir 450 pada tahun 1966, tapi mengecil lagi menjadi hanya sekitar 80 anggota saja pada tahun 1973. Itu mencerminkan pasang-surut kegiatan penerbitan buku di Indonesia.
Penyebabnya, banyak perusahaan penerbitan terpaksa gulung tikar, sebagian mengalihkan usaha ke bidang lain akibat Amukan inflasi, harga kertas mahal, jatah pemerintah ditiadakan. Keadaan ekonomi tersebut membuat beberapa penerbit lain-yang masih bertahan-enggan menerbitkan buku paket pelajaran..
Untuk meredam gejala tersebut, pemerintah membentuk proyek Paket Buku (1969) yang bertujuan menyediakan buku pelajaran bermutu untuk sekolah dan madrasah. Proyek itu kemudian dibantu oleh perjanjian kredit ($ 13,5 juta) dari Bank Dunia dan suplai kertas ($ 13 juta) dari Canadian International Development Agency (CIDA). Keduanya berlaku dari 1973 sampai 1980-81.
Dep P & K, bertindak sebagai penerbit mengambil alih penerbitan buku pelajaran untuk subsidi sekolah. Persoalan buku pelajaran terselasaikan. Proyek tersebut sekaligus membanting penerbit swasta dengan mengambil alih porsi penerbitan buku pelajaran.
Ikapi kemudian memprotes perihal perampasan jatah tersebut. Tapi ibarat makanan, jatah tersebut sudah terlanjur dikunyah…masa’ mau dimuntahkan lagi? Berhubung pemerintah di jaman itu masih baik hati , maka diusulkanlah proyek Inpres untuk memulihkan iklim penerbitan swasta.
Proyek Inpres dilaksanakan pada tahun 1974. Tujuannya adalah menyediakan buku bacaan sehat untuk Sekolah Dasar, dengan menyerahkan kepada pihak penerbit swasta untuk menerbitkan buku bacaan itu, dibawah pengawasan Dep. P & K.
Tidak diragukan lagi, proyek Inpres tersebut sukses merangsang minat baca anak-anak sekolah di jamannya. 40 juta buku dihasilkannya dengan biaya Rp 7,5 milyar. Sekaligus memicu tumbuhnya kegiatan penerbitan. Keanggotaan Ikapi melonjak dari 80 anggota menjadi 166 anggota. Di luar Ikapi, mungkin ada lebih banyak lagi penerbit kecil musiman yang ikut menikmati Proyek Inpres tersebut.
Pengarang-pengarang senior, seperti Suyadi, Alm. Kurnaen Wardiman, Djoko Lelono, Diah Ansori, Alm. Suyono, Dwianto Styawan, a. Adjib Hamzah serta pengarang-pengarang dadakan lainnya tak mau kalah bermunculan di sampul buku Inpres.
Tak cukup sampai di situ, seniman lukis lokal pun ikut kecipratan proyek. Apa menariknya bacaan anak tanpa gambar. Ilustrasi pada bacaan anak tidak hanya semata-mata berfungsi untuk melengkapi teks, namun justru menjadi satu kesatuan dengan cerita. Menurut Murti Bunanta, salah seorang pengamat dan praktisi bacaan anak, setidaknya terdapat tiga peran ilustrasi bagi anak. Pertama, ilustrasi harus mampu memberi ruang pada anak untuk berimajinasi. Kedua, ilustrasi harus mampu menimbulkan rangsangan bagi anak untuk mengenal estetika. Dan terakhir, ilustrasi harus mampu memberi kenikmatan bagi anak yang membaca.
Periode ini juga menandai perjalanan
desain grafis tanah air. Terlebih pada tahun 1980 an industri Cergam mengalami
proses pertumbuhan mendampingi penerbitan buku Inpres. Gambar ilustrasi yang
menyertai karya sastra Indonesia bukan hal baru. Karya sastra terbitan Balai
Poestaka semasih zaman Belanda pun sudah berilustrasi. Juga, buku-buku keluaran
penerbit buku sastra dan budaya serta cerita anak- anak PT Pustaka Jaya
(berdiri di akhir 1960-an) berilustrasi. Setidaknya, bila di dalam tidak
bergambar, buku-buku novel Pustaka Jaya bergambar pada kulit mukanya. Sebut
saja gambar kulit muka novel Nh Dini, Pada Sebuah Kapal, yang dibuat oleh
Pelukis Rusli. Lalu novel pendek Putu Wijaya, Telegram, gambar kulit mukanya
dibuat oleh pelukis Nashar
Dipengaruhi komik import, cergam superhero yang bergaya kebarat-baratanpun bermunculan pada periode 70-80 an, seperti Hasmi dengan serial Gundala Putra Petir (adaptasi dari jagoan Amerika, Flash), Wid NS dengan serial Godam (terinspirasi Superman), Kus Br. dengan serial Laba-laba Merah (mirip dengan Spiderman) dan Djoni Andrean dengan serial Laba-laba Maut (mirip Spiderman, tapi dengan topeng wajah separuh terbuka).
PS: Maaf…di paragraf sebelumnya, saya menulis komik dan cergam sebagai dua istilah berbeda. Perbedaan Cergam dan Komik adalah pada komposisi gambar dan tulisan,
Komik umumnya dilengkapi dengan bingkai–bingkai secara juktaposisi/berjajar–
jajar, dialog dalam balon serta narasi yang saling merajut sebuah ceritera. Hal
tersebut berbeda dengan Cergam yang memadukan dua elemen pentingnya yaitu
aspek visual (gambar) dan verbal (kata-kata), penyusunannya dapat
juktaposisi/berjajar-jajar antar gambar dan tulisan ataupun memisahkan masing-
masing pada halaman tersendiri. Cergam dan Komik, di Indonesia telah
mengalami posisi naik turun, bahkan seringkali mendapat asosiasi kurang baik.
Cergam dianggap dangkal, pemimpi dan tidak mendidik walaupun sesungguhnya
Cergam mampu menyajikan ceritera-ceritera yang tidak hanya mendidik dan
mudah dicerna, namun juga menambah intelektualitas, imajinatif dan juga
kreativitas.
Beberapa ilustrator bacaan anak kala itu bahkan mengadopsi gaya Kirby seperti karya Ened Rizaly yang saya temukan di salah satu buku berjudul Hari-Hari yang Indah karangan H. Sugianto. Beberapa karya seperti Majapahit oleh RA Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam bentuk buku pada masa itu.
Ilustrasi buku Gua Terlarang karya Suyadi dinilai sebagai ilustrasi terbaik untuk buku anak-anak pada Tahun Buku Internasional 1972. Sedangkan buku Made dan 4 Temannya, oleh IKAPI dinilai sebagai buku yang terbaik dari segi perwajahan untuk 1979. Siapa Suyadi? Argh! Suyadi yang ngarang si Unyil, yang memerankan Pak Raden, yang nggambar karakter keluarga Budi, iwan dan Wati (selebihnya cari di google saja)
Kembali ke proyek Inpres, 40 juta judul buku yang diterbitkan selama 3 tahun. ternyata masih jauh dari sukses meskipun sudah banyak disebar ke perpustakaan SD, perbandingan ideal 10 buku untuk satu anak masih belum tercapai. Bayangkan waktu itu saja ada 80.000 Sekolah Dasar!
Indonesia tetaplah Indonesia… Isu pungli proyek Inpres menjadi alasan beberapa penerbit enggan melanjutkan proyek Inpres untuk 3 tahun berikutnya. Berbagai cerita burung beredar tentang adanya permainan dalam pemilihan buku-buku tersebut. Menteri P dan K ad interim waktu itu, Umar Ali, mengatakan bahwa dengan adanya Inpres itu untuk membangkitkan gairah penerbit nasional. Ternyata, kebanyakan buku yang dipilih panitia adalah terbitan para penerbit "musiman" yang baru didirikan untuk menampung durian runtuh dari proyek Inpres. Penerbit serius yang punya itikad baik merasa dipecundangi
Desas-desus pun timbul: Seorang kacung berjiwa wiraswasta yang bekerja di sebuah penerbit di Bandung, setelah mengerti selukbeluk tender buku pelajaran untuk SD, menyusun sebuah buku atas namanya sendiri walaupun dia sendiri tak pernah tamat SD. Ternyata, buku ini plagiat dari buku lain yang sudah beredar. Entah bagaimana kelanjutan ceritanya. Pemerintah mengalihkan proyek tersebut pada PN. Balai Pustaka dan beberapa penerbit penjilat lainnya (mungkin)
Penerbit swasta memilih cabut dari proyek dan menjalankan proyek masing-masing. Banyak penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Jadilah kita tamu di negeri sendiri. Bejibun karya terjemahan hadir, lihat saja Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), delapan judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, enam judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, tiga judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Dipengaruhi komik import, cergam superhero yang bergaya kebarat-baratanpun bermunculan pada periode 70-80 an, seperti Hasmi dengan serial Gundala Putra Petir (adaptasi dari jagoan Amerika, Flash), Wid NS dengan serial Godam (terinspirasi Superman), Kus Br. dengan serial Laba-laba Merah (mirip dengan Spiderman) dan Djoni Andrean dengan serial Laba-laba Maut (mirip Spiderman, tapi dengan topeng wajah separuh terbuka).
PS: Maaf…di paragraf sebelumnya, saya menulis komik dan cergam sebagai dua istilah berbeda. Perbedaan Cergam dan Komik adalah pada komposisi gambar dan tulisan,
Komik umumnya dilengkapi dengan bingkai–bingkai secara juktaposisi/berjajar–
jajar, dialog dalam balon serta narasi yang saling merajut sebuah ceritera. Hal
tersebut berbeda dengan Cergam yang memadukan dua elemen pentingnya yaitu
aspek visual (gambar) dan verbal (kata-kata), penyusunannya dapat
juktaposisi/berjajar-jajar antar gambar dan tulisan ataupun memisahkan masing-
masing pada halaman tersendiri. Cergam dan Komik, di Indonesia telah
mengalami posisi naik turun, bahkan seringkali mendapat asosiasi kurang baik.
Cergam dianggap dangkal, pemimpi dan tidak mendidik walaupun sesungguhnya
Cergam mampu menyajikan ceritera-ceritera yang tidak hanya mendidik dan
mudah dicerna, namun juga menambah intelektualitas, imajinatif dan juga
kreativitas.
Beberapa ilustrator bacaan anak kala itu bahkan mengadopsi gaya Kirby seperti karya Ened Rizaly yang saya temukan di salah satu buku berjudul Hari-Hari yang Indah karangan H. Sugianto. Beberapa karya seperti Majapahit oleh RA Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam bentuk buku pada masa itu.
Ilustrasi buku Gua Terlarang karya Suyadi dinilai sebagai ilustrasi terbaik untuk buku anak-anak pada Tahun Buku Internasional 1972. Sedangkan buku Made dan 4 Temannya, oleh IKAPI dinilai sebagai buku yang terbaik dari segi perwajahan untuk 1979. Siapa Suyadi? Argh! Suyadi yang ngarang si Unyil, yang memerankan Pak Raden, yang nggambar karakter keluarga Budi, iwan dan Wati (selebihnya cari di google saja)
Kembali ke proyek Inpres, 40 juta judul buku yang diterbitkan selama 3 tahun. ternyata masih jauh dari sukses meskipun sudah banyak disebar ke perpustakaan SD, perbandingan ideal 10 buku untuk satu anak masih belum tercapai. Bayangkan waktu itu saja ada 80.000 Sekolah Dasar!
Indonesia tetaplah Indonesia… Isu pungli proyek Inpres menjadi alasan beberapa penerbit enggan melanjutkan proyek Inpres untuk 3 tahun berikutnya. Berbagai cerita burung beredar tentang adanya permainan dalam pemilihan buku-buku tersebut. Menteri P dan K ad interim waktu itu, Umar Ali, mengatakan bahwa dengan adanya Inpres itu untuk membangkitkan gairah penerbit nasional. Ternyata, kebanyakan buku yang dipilih panitia adalah terbitan para penerbit "musiman" yang baru didirikan untuk menampung durian runtuh dari proyek Inpres. Penerbit serius yang punya itikad baik merasa dipecundangi
Desas-desus pun timbul: Seorang kacung berjiwa wiraswasta yang bekerja di sebuah penerbit di Bandung, setelah mengerti selukbeluk tender buku pelajaran untuk SD, menyusun sebuah buku atas namanya sendiri walaupun dia sendiri tak pernah tamat SD. Ternyata, buku ini plagiat dari buku lain yang sudah beredar. Entah bagaimana kelanjutan ceritanya. Pemerintah mengalihkan proyek tersebut pada PN. Balai Pustaka dan beberapa penerbit penjilat lainnya (mungkin)
Penerbit swasta memilih cabut dari proyek dan menjalankan proyek masing-masing. Banyak penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Jadilah kita tamu di negeri sendiri. Bejibun karya terjemahan hadir, lihat saja Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), delapan judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, enam judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, tiga judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Begitulah, karya-karya terjemahan
tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra lokal yang saya ceritakan di
awal postingan tadi. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah
karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program
Inpres.
Adapun nasib Balai Pustaka sendiri mungkin sudah
termakan kutukan. Semakin terabaikan oleh pemerintah. Perusahaan ini kemana
sih? Mari doakan saja semoga PN Balai Pustaka bangkit lagi. Semoga kelak kita
bisa membaca himbauan di sampul buku paket bertuliskan: Rawatlah buku ini
baik-baik, tahun depan adikmu yang akan menggunakannya. Sebaiknya
memang begitu….
Apakah anda mempunyai buku2 seperti yg ada di gambar tulisan anda? Saya bersedia membelinya
BalasHapus