SEJARAH PERIODE sastra
indonesia1961-Sekarang
1.latar belakang
Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat
yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris
jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum
merupakan organ kebudayaan dari PKI. Diantara yang hadir pada ketika
pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh antara
lain HB Jassin dan Achdiat K. Mihardja. Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra
secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni
untuk rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.Dalam
gelanggang percaturan politik PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno
mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol)
sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk
merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.Dalam
usahanya mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala
kekuatan dalam segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra.
Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak
sepaham.
Dalam bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan.Tahun 1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).Dengan berbagai cara para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror dan difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII)
Dalam bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan.Tahun 1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).Dengan berbagai cara para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror dan difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII)
.2. Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang se Indonesia
Mei 1961 diterbitkan Majalah Sastra. Ketua : HB. Jassin, Redaktur
penyelenggara : DS. Moeljanto. Majalah sastra mengutamakan memuat cerpen, juga
sajak, kritik dan esai.Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa
itu adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A Peransi, dan
lain-lain. Beberapa penulis esai seperti Iwan Simatupang dan Wiratmo Soekito
juga banyak menulis dalam majalah sastra. Boen S. Oemarjati, M.S Hutagalung,
Virga Belan, Salim Said juga sering mengumumkan kritik-kritiknya dalam majalah
tersebut.Pengarang-pengarang cerpen dalam majalah sastra antara lain B.
Soelarto Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip Soeproto Kamal
Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass, dan lain-lain. Sedang
para penyair antara lain: Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy
Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, Sapardi Djoko Danomo, dan
lain-lain.17 Agustus 1963 diumumkan “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan
ditandatangani sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B Jassin,Trisno
Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok
Djin, dan lain-lain.
Manifes Kebudayaan
Kami para seniman dan
cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang
menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan
kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang
sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan
martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat
bangsa-bangsa. (Jakarta, 17 Agustus 1963) PANCASILA adalah falsafah kebudayaan
kami.Jakarta, 17 Agustus 1963
Manifes ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di
pihak lain, manifes itu mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk
menghancurkan orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak
manifes pun tidak tinggal diam mereka mempersiapkan konferensi pengarang yang
mereka namakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi
ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan
Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI berjalan, Soekarno
(presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang. Para budayawan,
seniman, dan pengarang penandatanganan manifes kebudayaan diusir dari tiap
kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi
pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.Perkataan ‘Manikebuis’ menjadi
istilah populer untuk menuduh seseorang “kontra revolusi, anti-manipol,
anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang
terbit. Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.
Situasi ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan
period ini. Yang ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani
mental dan fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis
merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia.
Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur
Rasuanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar
awal tahun 1966. Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam
Tirani dan Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966,
terbit majalah Horison ynag dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail,
Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, majalah
sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin, terbit pula
majalah cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit
majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi
dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu isinya menunjukkan
hasil-hasil masa transisi.
3. Para Pengarang Lekra
3. Para Pengarang Lekra
Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra,
asalkan menguntungkan bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan
juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun
1962 diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra.
Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai “Harian Rakyat”
yang dipimpin oleh NR. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah “Zaman Baru” yang
dipimpin oleh Rivai Apin. S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang
Gestapu, mereka menerbitkan harian “Kebudayaan Baru” yang dipimpin oleh S.
Antaguna, yang dalam penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen,
esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para
anggota Lekra atau bukan.
Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga
seni sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra,
memimpin ruangan kebudayaan lentera dalam surat kabar “Bintang” (timur) minggu
yang resminya ialah koran Partindo.
Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Audit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.
Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Audit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.
Di antara para penulis yang namanya sejak mulai muncuk selaku
dalam lingkungan Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, bakri Siregar, Hr.
Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid,
S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A Simanjuntak, Sugiarti Siswandi,
Hadi S dan lain-lain.
AS Dharta alias Kelana Asmara, alias Klara Akustia alias Yogaswara
alias Garmaraputra dan sejumlah alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir
di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi
sekretaris jenderalnya yang pertama, ia pernah menjadi anggota konstitutuante
sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra. Sajak-sajaknya diterbitkan dengan
judul “Rangsang Detik” tahun 1957 dan karangan-karangan Polemis dengan H.B Jassin
dan lain-lain.
Bachtiar Siangin banyak menulis Sanoiwara, ia menerbitkan beberapa
buku sandiwara, diantaranya Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi,
Aceh tahun 1934. Mula-mula menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan
bentuk-bentuk sastra lain. Sejumlah sajaknya dimuat juga dalam berbagai
penerbitan bersama yang dikumpulkan dalam “sahabat” (1959).
S. Anantaguna (lahir di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula
menulis sajak-sajak tetapi kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan
lain. Sajak-sajak yang diterbitkan dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak
Bertanah” (1964).
Sobron Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula hanya
menulis sajak kemudian juga menulis cerpen dan roman. Sajak-sajak awal (sebelum
ia aktif menjadi anggota Lekra) sebagian dimuat dalam kumpulan bersama Asip
Rosidi dan S.M. Ardan berjudul “Ketemu di Jalan” (1956). Sejumlah sajaknya
dibukukan dalam palang bertempur (1959) sedangkan cerpen dan novel revolusinya
diterbitkan dengan judul Derap Revolusi (1962).
Hadi S. yang nama panjangnya ialah Hadi Sosrodanukusumo terutama
menulis sajak yang sebagian telah diterbitkan dengan judul “Yang Jatuh dan Yang
Tumbuh” (1954).
Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga menulis cerpen dan esai.
Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga menulis cerpen dan esai.
4. Para Pengarang Keagamaan
Yang mau menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra
barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja. Beberapa buku
kumpulan sajak dan cerita-cerita karangan para pengarang Kristen yang pernah
diterbitkan antara lain “Kidung Keramahan” (1963) kumpulan sajak Soeparwata
Wiraatmdja ‘Hari-hari Pertama oleh Gerson Poyk, dan kumpulan sejak malam sunyi
(1961) dan basah dan peluh (1962) kedua-duanya buah tangan Fridolin Ukur.
Buku-buku karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah
diterbitkan oleh lembaga-lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya
dengan lembaga-lembaga kebudayaan itu kumpulan-kumpulan cerpen dan roman.
Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman yang berdujul “Umi Kalsum” dan
“Perjalanan Ke Akhirat” diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M.
Saribi Afn “Gema Lembah Cahaya” (1964) diterbitkan oleh Pembangunan. Dan
kumpulan sajak delapan orang penyair Islam yang berjudul “Manifes” (1963 diterbitkan
oleh penerbit Tintamas)”.Sementara itu orang-orang Katolik mempunyai sebuah
majalah bulanan kebudayaan umum yang terbit di Yogyakarta, basis yang terbit
sejak tahun 1951, tetapi baru pada paruh kedua tahun lima puluhan memberikan
perhatian dan tempat yang lebih banyak buat masalah sastra dan karya-karya
sastra.
Di antara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis
sajak-sajak dan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah. Tetapi belum
menerbitkan buku, antara lain patut disebut disini M. Abnar Romli, Abdulhadi
W.M, B. Jass, M. Josa Biran, Moh. Diponegoro dari agama Islam dan M. Poppy
Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Bakti Soemanto, J.
Sijaranamual dan lain-lain dari agama Kristen dan Katolik.
5. Sajak-Sajak Perlawanan Terhadap Tirani
5. Sajak-Sajak Perlawanan Terhadap Tirani
Para mahasiswa dan pelajar di Indonesia berdemonstrasi menuntut
untuk membubarkan PKI, ritual kabinet Dwikora dan turunkan harga, yang biasa
disebut Tritura. Para pengarang dan penyair pun turut serta secara aktif dengan
cara menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Diantaranya adalah Tirani
dan Benteng oleh Taufiq Ismail, perlawanan oleh Mansur Samin, Mereka Telah
Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abduk Wahid Sitomorang, Kebangkitan
oleh lima penyair mahasiswa Fakultas Sastra, Ribeli yang ditulis oleh Aldiah
Arifin, Djohan A. Nasution dan dua pengaduan Lubis, dan sajak-sajak yang lain.
Yang paling penting adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan Benteng tahun 1968.Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin memperoklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun, mereka adalah Ajip, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur Samin, Sarbini Afn, Goenawan Mohammad. Indonesia O’Galelano, Taufiq Ismail, Navis, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar Hulasuhut”.
Yang paling penting adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan Benteng tahun 1968.Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin memperoklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun, mereka adalah Ajip, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur Samin, Sarbini Afn, Goenawan Mohammad. Indonesia O’Galelano, Taufiq Ismail, Navis, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar Hulasuhut”.
Terhadap ‘Angkatan 66’ ini timbul berbagai reaksi Rachmat Djoko
Pradopo di Horison (1967) menyambut ‘Angkatan 66” sastra Indonesia dengan baik,
sedangkan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan Arief Budiman lebih menyukai nama
‘Angkatan Manifes (Kebudayaan)”.
6. Beberapa Pengarang
a. B. Soelarto
Lahir tanggal 11 September 1936 di Purwarejo. Ia menulis cerpen
yang penuh dengan protes dan ejekan dan hanya catatan-catatan mengenai situasi
politik dan sosial. Dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi mendapat reaksi
dari orang-orang Lekra. Kemudian drama itu ditulis dalam bentuk novel yang
berjudul Tanpa Nama oleh Nusantara tahun 1963. Balai Pustaka juga menerbitkan
sramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi (1968).
b. Bur Rasuanto
Lahir di Palembang, 6 April 1937. Ia menulis sajak, esai dan
roman. Tahun 1967 ia pergi ke Vietnam menjadi wartawan Perang Harian Kami.
Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Bumi Yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan
Bangkit (1964). Sajak-sajaknya berjudul Mereka Telah Bangkit diterbitkan dengan
stensil. Romannya berjudul Sang Ayah (1969), dan Manusia Tanah Air.
c. A. Bastari Asnin
Lahir tanggal 29 Agustus 1939 d Muara Dua, Palembang. Ia bekerja
sebagai anggota redaksi Harian Kami. Cerpen-cerpennya diterbitkan berupa buku
dalam dua kumpulan yaitu Ditengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.
d. Satyagraha Hoerip Soeprobo
Lahir di Lamongan 7 April 1934, ia banyak menulis cerpen dan esai
tentang kebudayaan. Romannya Sepasang Suami Istri melukiskan kehidupan seorang
suami politikus. Ia juga pernah menulis buku berupa cerita wayang berjudul Resi
Bisma. Tahun 1969, ia muncul sebagai editor sebuah buku Antologi Eser Sekitar
Persoalan-Persoalan Sastra yang memuat esai karya Asrul Sani, Iwan Simatupang,
Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.
e. Gerson Poyk
Lahir di Namodale, Pulau Roti, 16 Juni 1931. Buku pertamanya
sebuah roman pendek berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Ia menjadi wartawan
surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.
Pengarang-pengarang kita seperti Fas Siregar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Harmoni dan roman Terima Kasih. LC. Bach menerbitkan sebuah riman yang berjudul hari Membaja. Djumri Obeng menerbitkan roman yang berjudul Dunia Belum Kiamat. Poernawan Tjonsronagoro menerbitkan Mendarat Kembali dan Mabuk Sake. Rosidi Amir menerbitkan Jalan yang Tak Kunjung Datat. Zen Rosidy menerbitkan cerpen berjudul Cinta Pertama. Tabrin Tahar menrbitkan Guruh Kering. Maria Madijah menulis roman Kasih di Medan Perang.
Di majalah Sastra dan Horison juga ada beberapa pegnarang baru, misalnya Zulidahlan, Umar Kayam, Danarto, Muh. Fudali, Julius Sijaranamual, dan lain-lain yang belum mendapat kesempatan untuk mencetak cerpen-cerpen mereka menjadi buku.
Pengarang-pengarang kita seperti Fas Siregar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Harmoni dan roman Terima Kasih. LC. Bach menerbitkan sebuah riman yang berjudul hari Membaja. Djumri Obeng menerbitkan roman yang berjudul Dunia Belum Kiamat. Poernawan Tjonsronagoro menerbitkan Mendarat Kembali dan Mabuk Sake. Rosidi Amir menerbitkan Jalan yang Tak Kunjung Datat. Zen Rosidy menerbitkan cerpen berjudul Cinta Pertama. Tabrin Tahar menrbitkan Guruh Kering. Maria Madijah menulis roman Kasih di Medan Perang.
Di majalah Sastra dan Horison juga ada beberapa pegnarang baru, misalnya Zulidahlan, Umar Kayam, Danarto, Muh. Fudali, Julius Sijaranamual, dan lain-lain yang belum mendapat kesempatan untuk mencetak cerpen-cerpen mereka menjadi buku.
7. Beberapa Penyair
a. Taufiq Ismail
Lahir tahun 1937 di Bukit Tinggi dan dibesarkan di Pekalongan.
Beliau mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak
tahun 1954. Baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke permukaan ketika karyanya
berjudul “Tirani” berisi sajak-sajak diumumkan di tengah-tengah demonstrasi
para mahasiswa dan pelajar yang menyampaikan “Tritura”. Dalam karyanya ini,
beliau memakai nama samaran Nur Fadjar. Sajak-sajak itu berjumlah 18 dan
dituliskan dalam waktu seminggu, antara tanggal 20 dan 28 Februari 1966 dan
diterbitkan pertama kali di Majalah Gema Psycholohi. Kali ini Taufiq sudah
terang-terangan mengumumkan namanya sendiri.
Antara tanggal 20 sampai 28 Februari 1966 di Jakarta terjadi
peristiwa-peristiwa penting. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang menuntut
Tritura, uang diganti, bensin dinaikkan harganya, ongkos bis kota dinaikkan
lima kali lipat. Tanggal 24 Februari kabiner Dwikora yang baru dan malah
memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi akan ditantik. Para
mahasiswa dan pelajar bergerak. Bentrokan terjadi disertai penembakan. Arif
Rahman Hakim tertembak dan wafat. Hal ini menyebabkan para mahasiswa dan
pelajar lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rahman Hakim dilakukan secara pahlawan
dan orang yang mengiringi jenazahnya pe pekuburan sangat banyak.
Latar belakang itu harus dipahami agar kita dapat menikmati
sajak-sajak Taufiq Ismail dalam Tirani yang menggugah rangsang emosional
pembacanya secara meluas.
Peristiwa di Skeretariat negara (penembakan dan beberapa orang
mahasiswa terluka) direkamkan dalam sajak ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’,
‘Harmoni’, ‘Jalan Segara’. Penembakan Arif Rahman Hakim direkamkan dalam sajak
‘Karangan Bunga’, Salemba’, ‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’, dan ‘Seorang Tukang
Rambutan pada Isterinya’.
Sajak-sajak yang dimuat dalam “Benteng” tak jauh beda dengan yang dimuat dalam “Tirani”. Hanya dalam Benteng pikiran sudah lebih banyak bivara. Dalam sajaknya ‘Rendezvous’, Taufiq yakin bahwa tugas yang ketika itu sedang dilakukannya ialah tugas sejarah yang tak bisa dielakkan. Maka tujuan dan cita-cita yang lebih terperinci dirumuskannya dalam ‘Yang Kami Minta Hanyalah’, ‘Refleksi Seorang Pejuang Tua’, ‘Benteng’, dan ‘Nasihat-nasihat Kecil Orang tua pada Anaknya Berangkat Dewasa’.
Sajak-sajak yang dimuat dalam “Benteng” tak jauh beda dengan yang dimuat dalam “Tirani”. Hanya dalam Benteng pikiran sudah lebih banyak bivara. Dalam sajaknya ‘Rendezvous’, Taufiq yakin bahwa tugas yang ketika itu sedang dilakukannya ialah tugas sejarah yang tak bisa dielakkan. Maka tujuan dan cita-cita yang lebih terperinci dirumuskannya dalam ‘Yang Kami Minta Hanyalah’, ‘Refleksi Seorang Pejuang Tua’, ‘Benteng’, dan ‘Nasihat-nasihat Kecil Orang tua pada Anaknya Berangkat Dewasa’.
b. Goenawan Mohamad
Dikenal sebagai penulis esai yang tajam dan penuh dengan
kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair berbakat dan produktif.
Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai
suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia di tengah alam sepi tanpa kata
banyak menjadi temannya, misalnya ‘Senja pun Jafi Kecil, Kota pun jadi Putih’
(Horison 1966). Tetapi, ia juga menaruh perhatian kepada masalah-masalah sosial
dan kehidupan sekelilingnya. Misalnya sajak ‘Siapakah Laki-laki yang Roboh di
Taman ini ?’ (Basis 1964).
Juga masalah agama banyak menjadi tema. Situasi kehidupan agama
menyebabkan ia berpendapat : “………manusia tak lagi bebas, di mana agama bukan
lagi merupakan kekuatan rohaniah, tetapi sudah merupakan kekuatan jasmaniah
yang mengontrol tindak tanduk manusia. Manusia lama-kelamaan tidak lah
menyembah Tuahn, tetapi menyembah agama dengan segala aturan-aturannya yang
mendetail”. Selanjutnya ia berkata: “Tak lain adalah bersikap kreatif yang
membawa kita ke arah cara berfikir yang dialektik, sehingga segala macam
ortodoksi setapak dmi setapak akan luntur, dekimian pula segala macam fanatisme
dan segala bentuk sektarisme. Bagi kehidupan keagaman itu sendiri sikap kreatif
itu amat diperlukan untuk membawa agama kearah modernisasi dalam cara berfikir
dan dengan demikian, juga modernisasi seluruh masyarakat” (Horison 1966).
Goenawan lahir di Pekalongan tahun 1942 sajak-sajak da
esai-esainya belum diterbitkan sebagai buku kecuali yang dimuat bersama buah
tangan para penyair lain dalam manifestasi yang diselenggarakan oleh M. Saribi
Afn.Penyair-penyair lain seperti Saini K.M (lahir di Sumedang pada tanggal 16
Juni tahun 1938) banyak menulis sajak-sajak yang dimuat majalah-majalah sekitar
tahun enam puluhan. Selain itu, beliau juga menulis cerpen dan esai serta
menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya, bahasa Sunda.
Kumpulan sajaknya “Nyanyian Tanah Air” (tahun 1968) memuat sepilihan
sajak-sajaknya.
Sapardi Djoko Damono menulis sajak yang kesederhaan pengucapannya
langsung menyentuh hati. Sajak-sajak yang ditulisnya tahun 1967-1968
diterbitkan akhir 1969 dengan judul “Duka Mu Abadi”.
Wing Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April
1937) sudah menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Ia telah mengumumkan
satu-dua sajaknya pada masa itu. tetapi baru setelah ia bermukim di Paris
(tahun 1963-1967), ia mengumumkan sajak-sajaknya secara berlimpah. Selain itu,
ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik tentang persoalan-persoalan
seni umumnya.
Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938)
juga banyak menulis sajak-sajak dalam berbagai majalah. Demikian pula Piek
Ardiajnto Suprijadi, Arifin C. Noer, Abdulhadi W.M, Indonesia O’Galelano,
Sanento Juliman, Darmanto Jt, dan lain-lain.
Beberapa penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya
terbit, misalnya Kamal Firdaus T.F menerbitkan “Di Bawah Fajar Menyingsing”
(1965), dan Rachmat Djoko Pradopo (lahir 3 Novemcber 1939 di Klaten)
menerbitkan “Matahari Pagi di Tanah Air” (1967) dan Slamet Kirnanto menerbitkan
“Kidung Putih”, “Puisi Alit” (1967).
8. Para Pengarang Wanita
8. Para Pengarang Wanita
Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswandi,
Ernisiswati Nutomo, Enny Sumargo, dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan
sebagai penyair kita lihat munculnya Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy
Aminah Aziz, Bipsy Soerharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain.
Titie Said (Ny. Titie Raja Said Sadikun) adalah seorang wanita
yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Titie
Said pernah menjadi anggota redaksi majalah Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian
dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Perjuangan dan Hati Perempuan” (1962).
Sebagian besar dari cerpen-erpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan
perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya “Maria” dan “Kalimutu”
merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.
S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya “Dua
Kerinduan” (1963). Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan kita akan
kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih dari hanya harapan untuk masa
depan.
Sugiarti Siswandi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam
lembaran-lembaran penerbitan Lekra. Kumpulan cerpennya “Sorga di Bumi” terbit
tahun 1960. Disamping itu masih banyak lagi cerpen-cerpennya yang lain belum
dibukukan.
Ernisiswati Hutomo banyak menulis cerpen yang antara lain dimuat
dalam majalah Sastra. Tetapi belum ada yang dibukukan. Demikian juga dengan
Titis Basino yang menulis cerpen dengan produktif dalam cerpen-cerpen Titis
banyak dilukiskan sifat dan tabiat wanita yang kadang-kadang tak terduga,
merupakan misteri.
Enny Sumarjo (lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943)
terutama banyak mengumumkan buah tangannya berupa cerpen di daerah (Yogyakarta,
Semarang). Kini ia telah menrbitkan sebuah roman berjudul “Sekeping Hati
Perempuan” (1969).
Susy Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939) telah berhasil
menerbitkan sejumlah sajaknya dalam kumpulan berjudul “Seraut Wajahku” (1961).
Tetapi sajak-sajak itu tak lebih dari pada hanya menjanjikan kemungkinan saja,
seperti juga dengan sajak-sajak Dwiarti Mardjono yang dimuat dalam majalah
sastra.
Yang menulis sajak lebih dewasa dan lebih baik ialah Isma Sawitri
dan belakangan ini Toety Heraty Noerhadi. Isma Sawitri dilahirkan di Langsa,
Aceh, tanggal 21 November 1940. Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah
Sastra, Indonesia dan majalah-majalah lain pada awal tahun enam puluhan.
Kumpulan kwatrinnya yang diberinya berjudul “Kwatrin” terdiri dari lebih 100
buah, sedang menunggu penerbitannya. Sambil terus mengikuti kuliah di jurusan
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta ia lama menjadi anggota
redaksi surat kabar Angkatan Bersenjata, kemudian pindah ke Pedoman.
Toety Heraty Noerhadi yang kalau menulis mempergunakan Toety
Heraty, dilahirkan di Bandung tahun 1934, baru mulai mengumumkan sajak-sajaknya
pada tahun 1967 dalam Horison. Ia merupakan seorang sarjana psikologi yang
disamping menulis sajak juga menulis esai.
9. Drama
Penulisan drama pada
masa dulu lebih banyak dimaksudkan sebagai drama bacaan, sedang drama baru
lebih erat hubungannya dengan pementasan. Para penulis drama kebanyakan ialah
orang-orang yang aktif dalam bidang pementasan, baik sebagai sutradara maupun
pemain. Contoh pengarang drama:
1. Mohamad Diponegoro
seorang ketua group drama teater muslim di Yogyakarta. Contoh karyanya antara
lain : Iblis, Surat pada Gubernur. Dia juga dikenal sebagai penulis cerpen dan
penerjemah ayat-ayat Alquran secara puitis. Namun sampai sekarang karnyanya
belum diterbitkan.
2. M. Yunan Helmy
Nasution ketua Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI).
3. Saini K.M seorang
penyair juga pemain teater Perintis Bandung.
4. B. Soelarto dengan
karyanya Domba-domba Revolusi.
5. Arifin C. Noer aktif
di teater Muslim dan group drama di Yogyakarta tahun 1968 dia pindah ke Jakarta
dan membentuk Teater kecil.dua aktif sebagai sutradara dan pemain. Ia banyak
menulis sajak, drama, kritik dan esai. Bahkan dramanya yang berjudul “Matahari
di sebuah Jalan Kecil” dan “Nenek Tercinta” mendapat hadiah sayembara penulisan
drama teater Muslim tahun 1963
10. Esai
Pada angkata 45 para penulis esai dapat dihitung dengan jari.
Setelah itu bermunculan penulis-penulis esai dan yang paling dikenal Iwan
Simatupang. Dia banyak melontarkan gagasan-gagasan dan perspektif-prespektif
baik. Namun esai-esai yang ada dalam malajah-majalah yang pertama memuatnya
hampir semua terbenam. Kumpulan esai tentang persoalan sastra telah diterbitkan
oleh Setyagraha Hoerip Soeprobo dengan judul “Antologi Esai sekitar persoalan
Sastra (1969).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar