Senin, 27 Oktober 2014

Periode sastra indonesia



SEJARAH PERIODE sastra indonesia1961-Sekarang
1.latar belakang
Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Diantara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh antara lain HB Jassin dan Achdiat K. Mihardja. Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.Dalam gelanggang percaturan politik PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham.

Dalam bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan.Tahun 1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).Dengan berbagai cara para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror dan difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII)

.2. Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang se Indonesia
Mei 1961 diterbitkan Majalah Sastra. Ketua : HB. Jassin, Redaktur penyelenggara : DS. Moeljanto. Majalah sastra mengutamakan memuat cerpen, juga sajak, kritik dan esai.Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A Peransi, dan lain-lain. Beberapa penulis esai seperti Iwan Simatupang dan Wiratmo Soekito juga banyak menulis dalam majalah sastra. Boen S. Oemarjati, M.S Hutagalung, Virga Belan, Salim Said juga sering mengumumkan kritik-kritiknya dalam majalah tersebut.Pengarang-pengarang cerpen dalam majalah sastra antara lain B. Soelarto Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip Soeproto Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass, dan lain-lain. Sedang para penyair antara lain: Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, Sapardi Djoko Danomo, dan lain-lain.17 Agustus 1963 diumumkan “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B Jassin,Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain.

Manifes Kebudayaan
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat bangsa-bangsa. (Jakarta, 17 Agustus 1963) PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.Jakarta, 17 Agustus 1963

Manifes ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain, manifes itu mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk menghancurkan orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun tidak tinggal diam mereka mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka namakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI berjalan, Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang. Para budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan manifes kebudayaan diusir dari tiap kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.Perkataan ‘Manikebuis’ menjadi istilah populer untuk menuduh seseorang “kontra revolusi, anti-manipol, anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang terbit. Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.
Situasi ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan period ini. Yang ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun 1966. Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit majalah Horison ynag dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, majalah sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin, terbit pula majalah cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu isinya menunjukkan hasil-hasil masa transisi.

3. Para Pengarang Lekra
Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan menguntungkan bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962 diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra.
Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai “Harian Rakyat” yang dipimpin oleh NR. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah “Zaman Baru” yang dipimpin oleh Rivai Apin. S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka menerbitkan harian “Kebudayaan Baru” yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang dalam penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan.
Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan lentera dalam surat kabar “Bintang” (timur) minggu yang resminya ialah koran Partindo.

Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Audit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.
Di antara para penulis yang namanya sejak mulai muncuk selaku dalam lingkungan Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid, S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A Simanjuntak, Sugiarti Siswandi, Hadi S dan lain-lain.
AS Dharta alias Kelana Asmara, alias Klara Akustia alias Yogaswara alias Garmaraputra dan sejumlah alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi sekretaris jenderalnya yang pertama, ia pernah menjadi anggota konstitutuante sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra. Sajak-sajaknya diterbitkan dengan judul “Rangsang Detik” tahun 1957 dan karangan-karangan Polemis dengan H.B Jassin dan lain-lain.
Bachtiar Siangin banyak menulis Sanoiwara, ia menerbitkan beberapa buku sandiwara, diantaranya Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi, Aceh tahun 1934. Mula-mula menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan bentuk-bentuk sastra lain. Sejumlah sajaknya dimuat juga dalam berbagai penerbitan bersama yang dikumpulkan dalam “sahabat” (1959).
S. Anantaguna (lahir di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula menulis sajak-sajak tetapi kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan lain. Sajak-sajak yang diterbitkan dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah” (1964).
Sobron Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula hanya menulis sajak kemudian juga menulis cerpen dan roman. Sajak-sajak awal (sebelum ia aktif menjadi anggota Lekra) sebagian dimuat dalam kumpulan bersama Asip Rosidi dan S.M. Ardan berjudul “Ketemu di Jalan” (1956). Sejumlah sajaknya dibukukan dalam palang bertempur (1959) sedangkan cerpen dan novel revolusinya diterbitkan dengan judul Derap Revolusi (1962).
Hadi S. yang nama panjangnya ialah Hadi Sosrodanukusumo terutama menulis sajak yang sebagian telah diterbitkan dengan judul “Yang Jatuh dan Yang Tumbuh” (1954).
Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga menulis cerpen dan esai.
4. Para Pengarang Keagamaan
Yang mau menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja. Beberapa buku kumpulan sajak dan cerita-cerita karangan para pengarang Kristen yang pernah diterbitkan antara lain “Kidung Keramahan” (1963) kumpulan sajak Soeparwata Wiraatmdja ‘Hari-hari Pertama oleh Gerson Poyk, dan kumpulan sejak malam sunyi (1961) dan basah dan peluh (1962) kedua-duanya buah tangan Fridolin Ukur.
Buku-buku karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh lembaga-lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan lembaga-lembaga kebudayaan itu kumpulan-kumpulan cerpen dan roman. Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman yang berdujul “Umi Kalsum” dan “Perjalanan Ke Akhirat” diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn “Gema Lembah Cahaya” (1964) diterbitkan oleh Pembangunan. Dan kumpulan sajak delapan orang penyair Islam yang berjudul “Manifes” (1963 diterbitkan oleh penerbit Tintamas)”.Sementara itu orang-orang Katolik mempunyai sebuah majalah bulanan kebudayaan umum yang terbit di Yogyakarta, basis yang terbit sejak tahun 1951, tetapi baru pada paruh kedua tahun lima puluhan memberikan perhatian dan tempat yang lebih banyak buat masalah sastra dan karya-karya sastra.
Di antara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah. Tetapi belum menerbitkan buku, antara lain patut disebut disini M. Abnar Romli, Abdulhadi W.M, B. Jass, M. Josa Biran, Moh. Diponegoro dari agama Islam dan M. Poppy Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Bakti Soemanto, J. Sijaranamual dan lain-lain dari agama Kristen dan Katolik.

5. Sajak-Sajak Perlawanan Terhadap Tirani
Para mahasiswa dan pelajar di Indonesia berdemonstrasi menuntut untuk membubarkan PKI, ritual kabinet Dwikora dan turunkan harga, yang biasa disebut Tritura. Para pengarang dan penyair pun turut serta secara aktif dengan cara menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Diantaranya adalah Tirani dan Benteng oleh Taufiq Ismail, perlawanan oleh Mansur Samin, Mereka Telah Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abduk Wahid Sitomorang, Kebangkitan oleh lima penyair mahasiswa Fakultas Sastra, Ribeli yang ditulis oleh Aldiah Arifin, Djohan A. Nasution dan dua pengaduan Lubis, dan sajak-sajak yang lain.

          Yang paling penting adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan Benteng tahun 1968.Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin memperoklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun, mereka adalah Ajip, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur Samin, Sarbini Afn, Goenawan Mohammad. Indonesia O’Galelano, Taufiq Ismail, Navis, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar Hulasuhut”.
Terhadap ‘Angkatan 66’ ini timbul berbagai reaksi Rachmat Djoko Pradopo di Horison (1967) menyambut ‘Angkatan 66” sastra Indonesia dengan baik, sedangkan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan Arief Budiman lebih menyukai nama ‘Angkatan Manifes (Kebudayaan)”.
6. Beberapa Pengarang
a. B. Soelarto
Lahir tanggal 11 September 1936 di Purwarejo. Ia menulis cerpen yang penuh dengan protes dan ejekan dan hanya catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial. Dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi mendapat reaksi dari orang-orang Lekra. Kemudian drama itu ditulis dalam bentuk novel yang berjudul Tanpa Nama oleh Nusantara tahun 1963. Balai Pustaka juga menerbitkan sramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi (1968).
b. Bur Rasuanto
Lahir di Palembang, 6 April 1937. Ia menulis sajak, esai dan roman. Tahun 1967 ia pergi ke Vietnam menjadi wartawan Perang Harian Kami. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Bumi Yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-sajaknya berjudul Mereka Telah Bangkit diterbitkan dengan stensil. Romannya berjudul Sang Ayah (1969), dan Manusia Tanah Air.
c. A. Bastari Asnin
Lahir tanggal 29 Agustus 1939 d Muara Dua, Palembang. Ia bekerja sebagai anggota redaksi Harian Kami. Cerpen-cerpennya diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan yaitu Ditengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.
d. Satyagraha Hoerip Soeprobo
Lahir di Lamongan 7 April 1934, ia banyak menulis cerpen dan esai tentang kebudayaan. Romannya Sepasang Suami Istri melukiskan kehidupan seorang suami politikus. Ia juga pernah menulis buku berupa cerita wayang berjudul Resi Bisma. Tahun 1969, ia muncul sebagai editor sebuah buku Antologi Eser Sekitar Persoalan-Persoalan Sastra yang memuat esai karya Asrul Sani, Iwan Simatupang, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.
e. Gerson Poyk
Lahir di Namodale, Pulau Roti, 16 Juni 1931. Buku pertamanya sebuah roman pendek berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Ia menjadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.
Pengarang-pengarang kita seperti Fas Siregar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Harmoni dan roman Terima Kasih. LC. Bach menerbitkan sebuah riman yang berjudul hari Membaja. Djumri Obeng menerbitkan roman yang berjudul Dunia Belum Kiamat. Poernawan Tjonsronagoro menerbitkan Mendarat Kembali dan Mabuk Sake. Rosidi Amir menerbitkan Jalan yang Tak Kunjung Datat. Zen Rosidy menerbitkan cerpen berjudul Cinta Pertama. Tabrin Tahar menrbitkan Guruh Kering. Maria Madijah menulis roman Kasih di Medan Perang.
Di majalah Sastra dan Horison juga ada beberapa pegnarang baru, misalnya Zulidahlan, Umar Kayam, Danarto, Muh. Fudali, Julius Sijaranamual, dan lain-lain yang belum mendapat kesempatan untuk mencetak cerpen-cerpen mereka menjadi buku.
7. Beberapa Penyair
a. Taufiq Ismail
Lahir tahun 1937 di Bukit Tinggi dan dibesarkan di Pekalongan. Beliau mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak tahun 1954. Baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke permukaan ketika karyanya berjudul “Tirani” berisi sajak-sajak diumumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar yang menyampaikan “Tritura”. Dalam karyanya ini, beliau memakai nama samaran Nur Fadjar. Sajak-sajak itu berjumlah 18 dan dituliskan dalam waktu seminggu, antara tanggal 20 dan 28 Februari 1966 dan diterbitkan pertama kali di Majalah Gema Psycholohi. Kali ini Taufiq sudah terang-terangan mengumumkan namanya sendiri.
Antara tanggal 20 sampai 28 Februari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa-peristiwa penting. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang menuntut Tritura, uang diganti, bensin dinaikkan harganya, ongkos bis kota dinaikkan lima kali lipat. Tanggal 24 Februari kabiner Dwikora yang baru dan malah memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi akan ditantik. Para mahasiswa dan pelajar bergerak. Bentrokan terjadi disertai penembakan. Arif Rahman Hakim tertembak dan wafat. Hal ini menyebabkan para mahasiswa dan pelajar lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rahman Hakim dilakukan secara pahlawan dan orang yang mengiringi jenazahnya pe pekuburan sangat banyak.
Latar belakang itu harus dipahami agar kita dapat menikmati sajak-sajak Taufiq Ismail dalam Tirani yang menggugah rangsang emosional pembacanya secara meluas.
Peristiwa di Skeretariat negara (penembakan dan beberapa orang mahasiswa terluka) direkamkan dalam sajak ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Harmoni’, ‘Jalan Segara’. Penembakan Arif Rahman Hakim direkamkan dalam sajak ‘Karangan Bunga’, Salemba’, ‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’, dan ‘Seorang Tukang Rambutan pada Isterinya’.

Sajak-sajak yang dimuat dalam “Benteng” tak jauh beda dengan yang dimuat dalam “Tirani”. Hanya dalam Benteng pikiran sudah lebih banyak bivara. Dalam sajaknya ‘Rendezvous’, Taufiq yakin bahwa tugas yang ketika itu sedang dilakukannya ialah tugas sejarah yang tak bisa dielakkan. Maka tujuan dan cita-cita yang lebih terperinci dirumuskannya dalam ‘Yang Kami Minta Hanyalah’, ‘Refleksi Seorang Pejuang Tua’, ‘Benteng’, dan ‘Nasihat-nasihat Kecil Orang tua pada Anaknya Berangkat Dewasa’.
b. Goenawan Mohamad
Dikenal sebagai penulis esai yang tajam dan penuh dengan kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair berbakat dan produktif. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia di tengah alam sepi tanpa kata banyak menjadi temannya, misalnya ‘Senja pun Jafi Kecil, Kota pun jadi Putih’ (Horison 1966). Tetapi, ia juga menaruh perhatian kepada masalah-masalah sosial dan kehidupan sekelilingnya. Misalnya sajak ‘Siapakah Laki-laki yang Roboh di Taman ini ?’ (Basis 1964).
Juga masalah agama banyak menjadi tema. Situasi kehidupan agama menyebabkan ia berpendapat : “………manusia tak lagi bebas, di mana agama bukan lagi merupakan kekuatan rohaniah, tetapi sudah merupakan kekuatan jasmaniah yang mengontrol tindak tanduk manusia. Manusia lama-kelamaan tidak lah menyembah Tuahn, tetapi menyembah agama dengan segala aturan-aturannya yang mendetail”. Selanjutnya ia berkata: “Tak lain adalah bersikap kreatif yang membawa kita ke arah cara berfikir yang dialektik, sehingga segala macam ortodoksi setapak dmi setapak akan luntur, dekimian pula segala macam fanatisme dan segala bentuk sektarisme. Bagi kehidupan keagaman itu sendiri sikap kreatif itu amat diperlukan untuk membawa agama kearah modernisasi dalam cara berfikir dan dengan demikian, juga modernisasi seluruh masyarakat” (Horison 1966).
Goenawan lahir di Pekalongan tahun 1942 sajak-sajak da esai-esainya belum diterbitkan sebagai buku kecuali yang dimuat bersama buah tangan para penyair lain dalam manifestasi yang diselenggarakan oleh M. Saribi Afn.Penyair-penyair lain seperti Saini K.M (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni tahun 1938) banyak menulis sajak-sajak yang dimuat majalah-majalah sekitar tahun enam puluhan. Selain itu, beliau juga menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya “Nyanyian Tanah Air” (tahun 1968) memuat sepilihan sajak-sajaknya.
Sapardi Djoko Damono menulis sajak yang kesederhaan pengucapannya langsung menyentuh hati. Sajak-sajak yang ditulisnya tahun 1967-1968 diterbitkan akhir 1969 dengan judul “Duka Mu Abadi”.
Wing Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sudah menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Ia telah mengumumkan satu-dua sajaknya pada masa itu. tetapi baru setelah ia bermukim di Paris (tahun 1963-1967), ia mengumumkan sajak-sajaknya secara berlimpah. Selain itu, ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik tentang persoalan-persoalan seni umumnya.
Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938) juga banyak menulis sajak-sajak dalam berbagai majalah. Demikian pula Piek Ardiajnto Suprijadi, Arifin C. Noer, Abdulhadi W.M, Indonesia O’Galelano, Sanento Juliman, Darmanto Jt, dan lain-lain.
Beberapa penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya terbit, misalnya Kamal Firdaus T.F menerbitkan “Di Bawah Fajar Menyingsing” (1965), dan Rachmat Djoko Pradopo (lahir 3 Novemcber 1939 di Klaten) menerbitkan “Matahari Pagi di Tanah Air” (1967) dan Slamet Kirnanto menerbitkan “Kidung Putih”, “Puisi Alit” (1967).

8. Para Pengarang Wanita
Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswandi, Ernisiswati Nutomo, Enny Sumargo, dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita lihat munculnya Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy Soerharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain.
Titie Said (Ny. Titie Raja Said Sadikun) adalah seorang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Titie Said pernah menjadi anggota redaksi majalah Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Perjuangan dan Hati Perempuan” (1962). Sebagian besar dari cerpen-erpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya “Maria” dan “Kalimutu” merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.
S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya “Dua Kerinduan” (1963). Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan kita akan kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih dari hanya harapan untuk masa depan.
Sugiarti Siswandi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan Lekra. Kumpulan cerpennya “Sorga di Bumi” terbit tahun 1960. Disamping itu masih banyak lagi cerpen-cerpennya yang lain belum dibukukan.
Ernisiswati Hutomo banyak menulis cerpen yang antara lain dimuat dalam majalah Sastra. Tetapi belum ada yang dibukukan. Demikian juga dengan Titis Basino yang menulis cerpen dengan produktif dalam cerpen-cerpen Titis banyak dilukiskan sifat dan tabiat wanita yang kadang-kadang tak terduga, merupakan misteri.
Enny Sumarjo (lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943) terutama banyak mengumumkan buah tangannya berupa cerpen di daerah (Yogyakarta, Semarang). Kini ia telah menrbitkan sebuah roman berjudul “Sekeping Hati Perempuan” (1969).
Susy Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939) telah berhasil menerbitkan sejumlah sajaknya dalam kumpulan berjudul “Seraut Wajahku” (1961). Tetapi sajak-sajak itu tak lebih dari pada hanya menjanjikan kemungkinan saja, seperti juga dengan sajak-sajak Dwiarti Mardjono yang dimuat dalam majalah sastra.
Yang menulis sajak lebih dewasa dan lebih baik ialah Isma Sawitri dan belakangan ini Toety Heraty Noerhadi. Isma Sawitri dilahirkan di Langsa, Aceh, tanggal 21 November 1940. Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Sastra, Indonesia dan majalah-majalah lain pada awal tahun enam puluhan. Kumpulan kwatrinnya yang diberinya berjudul “Kwatrin” terdiri dari lebih 100 buah, sedang menunggu penerbitannya. Sambil terus mengikuti kuliah di jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta ia lama menjadi anggota redaksi surat kabar Angkatan Bersenjata, kemudian pindah ke Pedoman.
Toety Heraty Noerhadi yang kalau menulis mempergunakan Toety Heraty, dilahirkan di Bandung tahun 1934, baru mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada tahun 1967 dalam Horison. Ia merupakan seorang sarjana psikologi yang disamping menulis sajak juga menulis esai.
9. Drama
Penulisan drama pada masa dulu lebih banyak dimaksudkan sebagai drama bacaan, sedang drama baru lebih erat hubungannya dengan pementasan. Para penulis drama kebanyakan ialah orang-orang yang aktif dalam bidang pementasan, baik sebagai sutradara maupun pemain. Contoh pengarang drama:
1. Mohamad Diponegoro seorang ketua group drama teater muslim di Yogyakarta. Contoh karyanya antara lain : Iblis, Surat pada Gubernur. Dia juga dikenal sebagai penulis cerpen dan penerjemah ayat-ayat Alquran secara puitis. Namun sampai sekarang karnyanya belum diterbitkan.
2. M. Yunan Helmy Nasution ketua Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI).
3. Saini K.M seorang penyair juga pemain teater Perintis Bandung.
4. B. Soelarto dengan karyanya Domba-domba Revolusi.
5. Arifin C. Noer aktif di teater Muslim dan group drama di Yogyakarta tahun 1968 dia pindah ke Jakarta dan membentuk Teater kecil.dua aktif sebagai sutradara dan pemain. Ia banyak menulis sajak, drama, kritik dan esai. Bahkan dramanya yang berjudul “Matahari di sebuah Jalan Kecil” dan “Nenek Tercinta” mendapat hadiah sayembara penulisan drama teater Muslim tahun 1963

10. Esai
Pada angkata 45 para penulis esai dapat dihitung dengan jari. Setelah itu bermunculan penulis-penulis esai dan yang paling dikenal Iwan Simatupang. Dia banyak melontarkan gagasan-gagasan dan perspektif-prespektif baik. Namun esai-esai yang ada dalam malajah-majalah yang pertama memuatnya hampir semua terbenam. Kumpulan esai tentang persoalan sastra telah diterbitkan oleh Setyagraha Hoerip Soeprobo dengan judul “Antologi Esai sekitar persoalan Sastra (1969).

bacaan saat SD itu kini terlupakan



Asiknya baca buku




Saat sekolah  dasar (SD) adalah masa awal kita berbproses,mungkin dari sekian banyak moment saat berseragam putih merah alias SD .yang paling melekat di fikiran ku sekarang kawan  adalah kebisaan mengantri meminjam buku di perpustakaan,pada saat pukul 08.30 saat guru tidak masuk kebiasaan kami dikelas adalah memaksa guru untuk meminjam buku,saat SD kawan perpustakkan sekolah q berada satu tempat dengan ruangan guru,tapi dulu meminjam buku itu susah oleh karena mungkin kebiasaan kami yang setiap meminjam buku selalu berantakan,saat mengembalikan buku tak di simpan lagi pada tempatnya.pinjam buku duduk diluar dengan kawan saat hujan lagi waktu beh serunya membaca.walaupun saat itu buku yang di baca adalah buku-buku tahun 80-an.




  
kisah buku-buku di atas tersebut sangat inspiratif dan banyak membangun watak dan sikap anak pada waktu.Menariknya, hampir semua bacaan tersebut bertema penyuluhan. Jika bukan soal budi-daya enceng gondok, beternak manila…ya.. propaganda keluarga berencana, mengapai cita-cita, mengasah keterampilan perbengkelan, pentingnya sekolah atau semangat membangun desa dan sebangsanyalah yang dikemas dalam cerita anak. 

salah satu cerita nya adalah rajin membatik di mana disana kita di ajak membuat batik di ceritanya.beternak cacing tanah,kisah-kisahnya sangat menarik walaupun kemasan bukunya tak sebagus buku sekarang.
Masa kejayaan itu sudah berlalu. Kemana perginya bacaan-bacaan tersebut? Terhimpit di rak perpustakaan sekolah. Anak-anak sekarang lebih suka terobsesi menjadi ninja Konoha ketimbang belajar cara membatik dan mencari tau masalah yang ada di lingkunganya.


memotongnya dari tengah saja. 

Ketika didirikan pada Mei 1950, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) hanya terdiri dari beberapa beberapa anggota saja. Kemudian keanggotaannya bertambah hampir 450 pada tahun 1966, tapi mengecil lagi menjadi hanya sekitar 80 anggota saja pada tahun 1973. Itu mencerminkan pasang-surut kegiatan penerbitan buku di Indonesia. 

Penyebabnya, banyak perusahaan penerbitan terpaksa gulung tikar, sebagian mengalihkan usaha ke bidang lain akibat Amukan inflasi, harga kertas mahal, jatah pemerintah ditiadakan. Keadaan ekonomi tersebut membuat beberapa penerbit lain-yang masih bertahan-enggan menerbitkan buku paket pelajaran..

Untuk meredam gejala tersebut, pemerintah membentuk proyek Paket Buku (1969) yang bertujuan menyediakan buku pelajaran bermutu untuk sekolah dan madrasah. Proyek itu kemudian dibantu oleh perjanjian kredit ($ 13,5 juta) dari Bank Dunia dan suplai kertas ($ 13 juta) dari Canadian International Development Agency (CIDA). Keduanya berlaku dari 1973 sampai 1980-81. 

Dep P & K, bertindak sebagai penerbit mengambil alih penerbitan buku pelajaran untuk subsidi sekolah. Persoalan buku pelajaran terselasaikan. Proyek tersebut sekaligus membanting penerbit swasta dengan mengambil alih porsi penerbitan buku pelajaran.

Ikapi kemudian memprotes perihal perampasan jatah tersebut. Tapi ibarat makanan, jatah tersebut sudah terlanjur dikunyah…masa’ mau dimuntahkan lagi? Berhubung pemerintah di jaman itu masih baik hati , maka diusulkanlah proyek Inpres untuk memulihkan iklim penerbitan swasta. 

Proyek Inpres dilaksanakan pada tahun 1974. Tujuannya adalah menyediakan buku bacaan sehat untuk Sekolah Dasar, dengan menyerahkan kepada pihak penerbit swasta untuk menerbitkan buku bacaan itu, dibawah pengawasan Dep. P & K.

Tidak diragukan lagi, proyek Inpres tersebut sukses merangsang minat baca anak-anak sekolah di jamannya. 40 juta buku dihasilkannya dengan biaya Rp 7,5 milyar. Sekaligus memicu tumbuhnya kegiatan penerbitan. Keanggotaan Ikapi melonjak dari 80 anggota menjadi 166 anggota. Di luar Ikapi, mungkin ada lebih banyak lagi penerbit kecil musiman yang ikut menikmati Proyek Inpres tersebut.
 
Pengarang-pengarang senior, seperti Suyadi, Alm. Kurnaen Wardiman, Djoko Lelono, Diah Ansori, Alm. Suyono, Dwianto Styawan, a. Adjib Hamzah serta pengarang-pengarang dadakan lainnya tak mau kalah bermunculan di sampul buku Inpres. 

Tak cukup sampai di situ, seniman lukis lokal pun ikut kecipratan proyek. Apa menariknya bacaan anak tanpa gambar. Ilustrasi pada bacaan anak tidak hanya semata-mata berfungsi untuk melengkapi teks, namun justru menjadi satu kesatuan dengan cerita. Menurut Murti Bunanta, salah seorang pengamat dan praktisi bacaan anak, setidaknya terdapat tiga peran ilustrasi bagi anak. Pertama, ilustrasi harus mampu memberi ruang pada anak untuk berimajinasi. Kedua, ilustrasi harus mampu menimbulkan rangsangan bagi anak untuk mengenal estetika. Dan terakhir, ilustrasi harus mampu memberi kenikmatan bagi anak yang membaca.









Periode ini juga menandai perjalanan desain grafis tanah air. Terlebih pada tahun 1980 an industri Cergam mengalami proses pertumbuhan mendampingi penerbitan buku Inpres. Gambar ilustrasi yang menyertai karya sastra Indonesia bukan hal baru. Karya sastra terbitan Balai Poestaka semasih zaman Belanda pun sudah berilustrasi. Juga, buku-buku keluaran penerbit buku sastra dan budaya serta cerita anak- anak PT Pustaka Jaya (berdiri di akhir 1960-an) berilustrasi. Setidaknya, bila di dalam tidak bergambar, buku-buku novel Pustaka Jaya bergambar pada kulit mukanya. Sebut saja gambar kulit muka novel Nh Dini, Pada Sebuah Kapal, yang dibuat oleh Pelukis Rusli. Lalu novel pendek Putu Wijaya, Telegram, gambar kulit mukanya dibuat oleh pelukis Nashar

Dipengaruhi komik import, cergam superhero yang bergaya kebarat-baratanpun bermunculan pada periode 70-80 an, seperti Hasmi dengan serial Gundala Putra Petir (adaptasi dari jagoan Amerika, Flash), Wid NS dengan serial Godam (terinspirasi Superman), Kus Br. dengan serial Laba-laba Merah (mirip dengan Spiderman) dan Djoni Andrean dengan serial Laba-laba Maut (mirip Spiderman, tapi dengan topeng wajah separuh terbuka).

PS: Maaf…di paragraf sebelumnya, saya menulis komik dan cergam sebagai dua istilah berbeda. Perbedaan Cergam dan Komik adalah pada komposisi gambar dan tulisan,
Komik umumnya dilengkapi dengan bingkai–bingkai secara juktaposisi/berjajar–
jajar, dialog dalam balon serta narasi yang saling merajut sebuah ceritera. Hal
tersebut berbeda dengan Cergam yang memadukan dua elemen pentingnya yaitu
aspek visual (gambar) dan verbal (kata-kata), penyusunannya dapat
juktaposisi/berjajar-jajar antar gambar dan tulisan ataupun memisahkan masing-
masing pada halaman tersendiri. Cergam dan Komik, di Indonesia telah
mengalami posisi naik turun, bahkan seringkali mendapat asosiasi kurang baik.
Cergam dianggap dangkal, pemimpi dan tidak mendidik walaupun sesungguhnya
Cergam mampu menyajikan ceritera-ceritera yang tidak hanya mendidik dan
mudah dicerna, namun juga menambah intelektualitas, imajinatif dan juga
kreativitas.

Beberapa ilustrator bacaan anak kala itu bahkan mengadopsi gaya Kirby seperti karya Ened Rizaly yang saya temukan di salah satu buku berjudul Hari-Hari yang Indah karangan H. Sugianto. Beberapa karya seperti Majapahit oleh RA Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam bentuk buku pada masa itu.

Ilustrasi buku Gua Terlarang karya Suyadi dinilai sebagai ilustrasi terbaik untuk buku anak-anak pada Tahun Buku Internasional 1972. Sedangkan buku Made dan 4 Temannya, oleh IKAPI dinilai sebagai buku yang terbaik dari segi perwajahan untuk 1979. Siapa Suyadi? Argh! Suyadi yang ngarang si Unyil, yang memerankan Pak Raden, yang nggambar karakter keluarga Budi, iwan dan Wati (selebihnya cari di google saja)

Kembali ke proyek Inpres, 40 juta judul buku yang diterbitkan selama 3 tahun. ternyata masih jauh dari sukses meskipun sudah banyak disebar ke perpustakaan SD, perbandingan ideal 10 buku untuk satu anak masih belum tercapai. Bayangkan waktu itu saja ada 80.000 Sekolah Dasar!

Indonesia tetaplah Indonesia… Isu pungli proyek Inpres menjadi alasan beberapa penerbit enggan melanjutkan proyek Inpres untuk 3 tahun berikutnya. Berbagai cerita burung beredar tentang adanya permainan dalam pemilihan buku-buku tersebut. Menteri P dan K ad interim waktu itu, Umar Ali, mengatakan bahwa dengan adanya Inpres itu untuk membangkitkan gairah penerbit nasional. Ternyata, kebanyakan buku yang dipilih panitia adalah terbitan para penerbit "musiman" yang baru didirikan untuk menampung durian runtuh dari proyek Inpres. Penerbit serius yang punya itikad baik merasa dipecundangi

Desas-desus pun timbul: Seorang kacung berjiwa wiraswasta yang bekerja di sebuah penerbit di Bandung, setelah mengerti selukbeluk tender buku pelajaran untuk SD, menyusun sebuah buku atas namanya sendiri walaupun dia sendiri tak pernah tamat SD. Ternyata, buku ini plagiat dari buku lain yang sudah beredar. Entah bagaimana kelanjutan ceritanya. Pemerintah mengalihkan proyek tersebut pada PN. Balai Pustaka dan beberapa penerbit penjilat lainnya (mungkin)

Penerbit swasta memilih cabut dari proyek dan menjalankan proyek masing-masing. Banyak penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Jadilah kita tamu di negeri sendiri. Bejibun karya terjemahan hadir, lihat saja Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), delapan judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, enam judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, tiga judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra lokal yang saya ceritakan di awal postingan tadi. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres. 
Adapun nasib Balai Pustaka sendiri mungkin sudah termakan kutukan. Semakin terabaikan oleh pemerintah. Perusahaan ini kemana sih? Mari doakan saja semoga PN Balai Pustaka bangkit lagi. Semoga kelak kita bisa membaca himbauan di sampul buku paket bertuliskan: Rawatlah buku ini baik-baik, tahun depan adikmu yang akan menggunakannya. Sebaiknya memang begitu….